Tulisan ini saya cp saja langsung dari http://katolisitas.org
Prinsip pendidikan Katolik
Pihak Vatikan melalui Kongregasi untuk Pendidikan Katolik mengeluarkan suatu dokumen yang berjudul The Catholic School (Sekolah Katolik), klik di sini,
yang menjabarkan tentang garis-garis besar sehubungan dengan pendidikan
Katolik. Secara mendasar, ciri Katolik dari suatu sekolah Katolik
nampak dalam konsep Kristiani tentang hidup yang terpusat pada Kristus.[1]
Maksudnya adalah, Kristus menjadi pondasi dari kegiatan pendidikan di
sekolah Katolik, dan Kristus memberikan arti yang baru bagi hidup dan
membantu semua pihak yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar untuk
mengarahkan diri mereka kepada Kristus, sesuai ajaran Injil.
Sekolah-sekolah Katolik mempunyai tugas untuk melengkapi pembentukan
Kristiani dari para muridnya. Tugas ini menjadi penting dewasa ini,
karena tugas pembentukan anak-anak tidak lagi dapat secara memadai
diberikan oleh keluarga dan masyarakat.[2]
Maka Berikut ini adalah ciri-ciri khas sekolah Katolik, sebagaimana disebutkan oleh Tahta Suci[3], yaitu sekolah yang:
1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati
2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani
3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas
4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya
5. Didukung oleh kesaksian Injil
Paus Yohanes Paulus II di tahun 2004 pernah menyatakan
bahwa adalah penting bahwa setiap institusi Katolik menjadi benar-benar
Katolik, artinya semakin Katolik dalam pemahamannya dan semakin Katolik
dalam identitasnya.[4]
Maka sekolah-sekolah Katolik, yang mengemban tugas penting dalam
mewujudkan misi Gereja untuk memperkenalkan Kristus kepada dunia dan
untuk menyampaikan Terang Kristus kepada semua orang, juga perlu untuk
menjadi semakin menyadari dan memahami identitasnya.
Mari sekarang kita melihat apa yang memberikan identitas Katolik kepada suatu sekolah:
1. Diinspirasikan oleh visi adikodrati
Gereja tidak menganggap pendidikan sebagai suatu proses
yang berdiri sendiri terpisah dari perjalanan iman seseorang agar
mencapai tujuan akhir hidup manusia, yaitu Surga. Dalam terang inilah,
Gereja menganggap bahwa pendidikan adalah suatu proses yang membentuk
pribadi seorang anak secara keseluruhan dan mengarahkan mata hatinya
kepada Surga. Maka tujuan pendidikan adalah untuk membentuk anak-anak
agar dapat menjadi warga yang baik bagi dunia, dengan mengasihi Tuhan
dan sesamanya dan memperkaya masyarakat dengan ragi Injil, dan yang
kelak akan menjadi warga Kerajaan Surga. Dengan demikian, tujuan
pendidikan terarah kepada pembentukan anak-anak agar mereka dapat
memenuhi panggilan hidup mereka untuk menjadi orang-orang yang kudus,
yaitu untuk menjadi seperti Kristus. Visi Kristiani ini harus dimiliki
oleh seluruh komunitas sekolah, agar nilai-nilai Injil dapat diterapkan
sebagai norma-norma pendidikan di sekolah.
Maka sebagaimana sering diajarkan oleh para Paus (Yohanes
Paulus II, Benediktus XVI, dan sekarang, Paus Fransiskus), adalah
penting agar manusia di masa sekarang ini, diajarkan untuk menghargai
martabat manusia, secara khusus dimensi rohaninya. Sebab dewasa ini
terdapat kecenderungan banyak orang, baik pemerintah, atau mereka yang
berkecimpung di dunia bisnis maupun media, yang menganggap pendidikan
hanya sebagai sarana untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan
kesuksesan duniawi dan standar kehidupan yang lebih nyaman – itu saja.
Nah, visi pendidikan yang sempit semacam ini, bukan visi pendidikan
Katolik.
Kalau para pendidik, orang tua dan siapa saja yang
mempersembahkan diri mereka dalam karya pendidikan Katolik itu gagal
untuk memperhatikan visi adikodrati yang tinggi ini, yaitu untuk
mengarahkan anak-anak didik mereka ke arah kekudusan, maka segala
pembicaraan mereka tentang sekolah Katolik itu tidak lebih dari sekedar
“gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.” (1 Kor 13:1)
Di tengah-tengah tawaran berbagai tokoh idola, entah itu
dari film kartun, bintang film Korea, atau dari permainan kartu dari
Jepang, sekolah-sekolah Katolik perlu memperkenalkan kepada anak-anak
figur para Santo dan Santa, yaitu para tokoh teladan dalam Gereja
Katolik, yang dapat mendorong anak-anak untuk juga hidup seperti mereka.
Sebab pada dasarnya kita semua dipanggil oleh Allah untuk menjadi
anak-anak-Nya, untuk mengenal, mengasihi dan melayani Dia, baik dalam
kehidupan kita di dunia ini, maupun dalam kehidupan yang akan datang.
Secara khusus, dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah
Katolik, para murid perlu diajarkan untuk memilih dengan kesadaran dan
kehendak yang bebas, untuk hidup sesuai dengan tuntunan ajaran imannya.
Dalam suasana yang membangun iman ini, anak-anak dapat dibantu untuk
menemukan panggilan hidupnya, sebab bukannya tidak mungkin, kehidupan
panggilan hidup membiara dapat tumbuh sejak masa kanak-kanak dan remaja.
2. Didirikan atas dasar antropologi Kristiani
Penekanan kepada tujuan akhir kepada setiap anak didik,
yaitu kepada kekudusan, akan mengakibatkan penghargaan yang mendalam
akan kebutuhan untuk melengkapi anak-anak dalam segala segi, agar mereka
semakin dapat bertumbuh sesuai dengan gambar dan rupa Tuhan (lih. Kej
1:26-27). Iman Katolik mengajarkan bahwa rahmat Allah menyempurnakan
kodrat, “grace perfects nature“. Dalam hidup manusia ada
kesatuan antara hal-hal yang sifatnya kodrati dan adikodrati. Maka
penting bagi semua pendidik untuk mempunyai pemahaman akan kepribadian
manusia yang utuh, baik ditinjau dari hal jasmani maupun rohani. Para
pendidik perlu membentuk anak didik mereka agar mencapai kesempurnaan
baik dari segi lahiriah maupun rohaniah.
Maka dalam proses pembentukan karakter anak di sekolah-
yang melibatkan orang tua, guru, para staf pengajar, pengurus maupun
komite- harus memahami apakah artinya manusia itu. Tentang hal ini
Gereja mengajarkan:
2.1 Pendidikan Katolik berfokus kepada manusia secara keseluruhan
“Proses pendidikan ….. berfokus pada pribadi manusia dalam
keseluruhannya, transenden, dalam identitas historisnya. Dengan proyek
pendidikan yang diinspirasikan oleh Injil, sekolah Katolik dipanggil
menanggapi tantangan ini [yaitu kecenderungan anggapan bahwa pendidikan
dikatakan harus terlepas dari agama], dengan keyakinan bahwa “hanya
dalam misteri Sang Fiman yang menjadi manusia-lah, misteri manusia
sungguh-sungguh menjadi jelas.”[5]
Selanjutnya, dalam dokumen yang berjudul “Sekolah Katolik” (The Catholic School) tersebut , Kongregasi Tahta Suci menyatakan:
“Karena itu, sekolah Katolik berkomitmen untuk perkembangan
manusia seutuhnya, sebab di dalam Kristus, manusia yang sempurna, semua
manusia menemukan kepenuhannya dan kesatuannya. Di sini terletak secara
khusus sifat Katolik dari sekolah itu. Tugas sekolah Katolik untuk
menumbuhkan nilai-nilai manusiawi… dalam kesesuaian dengan misi
khususnya untuk melayani semua manusia, mempunyai asalnya dari figur
Kristus. Ia adalah Seseorang yang menghormati manusia, memberikan makna
bagi hidup manusia, dan adalah teladan yang ditawarkan oleh sekolah
Katolik kepada para muridnya.[6]
2.2 Pendidikan Katolik menekankan hak-hak azasi manusia, martabat sebagai anak Tuhan, solidaritas dan kasih
“Dalam dunia yang beraneka ragam, para pendidik Katolik
harus dengan sadar mendorong aktivitasnya dengan konsep Kristiani
tentang pribadi manusia, dalam persatuan dengan Magisterium Gereja.
Konsep itu termasuk konsep untuk mempertahankan hak-hak azasi manusia,
tetapi juga menunjukkan bahwa pribadi manusia mempunyai martabat sebagai
anak Tuhan. Konsep ini memberikan kemerdekaan yang sepenuhnya, [yaitu]
dimerdekakan dari dosa oleh Kristus sendiri, melalui kasih. Konsep ini
menghasilkan kepastian akan hubungan solidaritas di antara semua
manusia; melalui sikap saling mengasihi dan komunitas gerejawi. Konsep
ini mencanangkan pengembangan yang sepenuhnya dari semua yang bersifat
manusiawi, sebab kita telah dijadikan penguasa dunia oleh Sang
Penciptanya. Akhirnya, konsep ini memperkenalkan Kristus, Putera Allah
yang menjelma dan Manusia yang sempurna, sebagai baik teladan maupun
sarana. Bagi semua orang, meneladani Kristus adalah sumber yang tak
pernah habis, untuk mencapai kesempurnaan pribadi maupun kesempurnaan
kelompok.”[7]
2.3. Sekolah Katolik bertugas menyatukan para muridnya dengan Kristus
Maka Gereja menekankan bahwa sebuah sekolah layak disebut
Katolik, jika sekolah itu, yang didirikan di atas dasar Kristus Yesus
Sang Penebus, mempersatukan Kristus dengan setiap muridnya. Kristus
bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian atau sebagai faktor tambahan
dalam filosofi pendidikan dan kegiatan belajar mengajar di sekolah,
tetapi menjadi pusat dan tonggak penyangga dari keseluruhan kehidupan di
sekolah, sebagai terang yang mencerahkan bagi setiap murid yang datang
ke sekolah (lih. Yoh 1:19).
Maka Injil Kristus dan Pribadi Kristus, adalah Sumber
inspirasi dan Pembimbing bagi sekolah Katolik dalam setiap segi:
filosofi pendidikan, kurikulum, kehidupan komunitas, pemilihan guru dan
bahkan lingkungan fisik sekolah. Supaya dalam segala yang ada di sekolah
itu dapat mengarahkan siapapun kepada Kristus. Adalah tugas pendidikan
Katolik untuk menyampaikan Kristus kepada setiap murid, dan membentuk
mereka agar menjadi semakin menyerupai Kristus.
3. Dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas
Penekanan akan aspek komunitas di sekolah Katolik mengambil
dasar dari kodrat sosial dan pribadi manusia dan kenyataan Gereja
sebagai rumah dan sekolah bagi persatuan. Bahwa sekolah Katolik adalah
komunitas pendidikan adalah salah satu dari perkembangan-perkembangan
yang memperkaya bagi sekolah di masa sekarang ini.
3.1. Sekolah Katolik sebagai suatu komunitas iman untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani
“Deklarasi Gravissimum educationis menyatakan
kemajuan yang penting tentang citra sekolah Katolik: suatu peralihan
dari sekolah sebagai sebuah lembaga, menuju sekolah sebagai suatu
komunitas. Dimensi komunitas ini, mungkin adalah hasil dari kesadaran
akan kodrat Gereja sebagaimana dinyatakan oleh Konsili (Vatikan II).
Dalam teks-teks Konsili, dimensi komunitas secara mendasar adalah konsep
teologis…. di mana Gereja digambarkan sebagai umat Tuhan…”[8]
Paus Paulus VI mengatakan bahwa sekolah-sekolah Katolik
harus dilihat sebagai “tempat bertemunya semua orang yang berkehendak
untuk mewujudkan nilai-nilai Kristiani dalam bidang pendidikan”.[9]
Dengan demikian, sekolah adalah sebuah komunitas dari para pribadi,
komunitas yang asli tentang iman. Kesadaran akan sekolah sebagai sebuah
komunitas iman, akan mempengaruhi suasana yang harus diusahakan di
sekolah.
3.2 Sekolah Katolik harus merupakan sekolah dengan atmosfir kekeluargaan
“… Sekolah-sekolah dasar harus berusaha untuk menciptakan
iklim komunitas sekolah yang menghasilkan, sedapat mungkin, atmosfir
kehidupan keluarga yang hangat dan akrab. Karena itu, mereka yang
bertanggungjawab untuk sekolah-sekolah ini akan melakukan segalanya yang
dapat mereka lakukan untuk meningkatkan semangat kebersamaan untuk
saling percaya dan spontanitas. Tambahan lagi, mereka akan memperhatikan
untuk mendorong kolaborasi yang dekat dan konstan dengan para orang tua
murid. Integrasi antara sekolah dan rumah adalah keadaan yang esensial
bagi lahirnya dan perkembangan semua potensi yang dapat dinyatakan oleh
anak-anak ini…. termasuk keterbukaan mereka terhadap agama dan segala
sesuatu yang menjadi konsekuensinya.”[10]
3.3. Sekolah Katolik harus melibatkan para orang tua dalam proses pendidikan
Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam proses
pendidikan harus bekerjasama sebagai satu tim: para guru, kepala
sekolah, bersama para orang tua, demi kebaikan bersama dan hak mereka
untuk terlibat dalam tugas tanggungjawab mereka sebagai pendidik. Tahta
Suci mendorong keterlibatan yang sepantasnya dari para orang tua dalam
sekolah-sekolah Katolik.[11]
Para guru dan administrator sekolah harus lebih sering mendorong
partisipasi orang tua. Kerjasama ini tidak saja untuk urusan masalah
akademis anak-anak, dan turut memantau perkembangan mereka, namun juga
untuk merencanakan dan mengevaluasi ke-efektifan misi sekolah tersebut.
3.4 Sekolah Katolik adalah sekolah yang menerapkan/ menekankan dialog yang wajar
Filosofi pendidikan Katolik selalu menekankan kepada
hubungan timbal balik antara komunitas pendidikan di sekolah, secara
khusus antara guru dan murid. Sebab di masa kanak-kanak dan remaja,
seorang murid perlu mengalami adanya hubungan personal dengan para
pendidiknya. Apa yang diajarkan oleh guru akan mempunyai efek yang lebih
besar, ketika pengajaran itu ditempatkan dalam konteks keterlibatan
pribadi, saling timbal balik yang tulus, sikap-sikap guru itu sendiri
yang sesuai dengan apa yang diajarkannya, dan tingkah laku sehari-hari
yang wajar. Maka kontak langsung dan personal antara para guru dan murid
adalah suatu ciri khas sekolah Katolik. Demikian yang dikatakan dalam
dokumen Kongregasi Pendidikan Katolik dari Vatikan:
“… Hubungan personal selalu berupa dialog dan bukan
monolog, dan guru itu harus yakin bahwa hubungan sedemikian akan saling
memperkaya. Tetapi misi tidak pernah boleh terlupakan: sang pendidik
tidak dapat melupakan bahwa para murid memerlukan seorang pendamping dan
pembimbing sepanjang waktu perkembangan mereka; mereka membutuhkan
bantuan dari yang lain untuk mengalahkan keraguan dan kebingungan. Juga,
hubungan dengan para murid harus merupakan gabungan antara hubungan
yang dekat dan hubungan yang berjarak. Hubungan yang dekat membuat
hubungan personal menjadi lebih mudah, tetapi jarak tertentu juga
diperlukan. Para murid perlu belajar untuk mengekspresikan kepribadian
mereka tanpa dikondisikan sebelumnya (pre-conditioned); mereka perlu
dibebaskan dari rasa takut dihukum, dengan melaksanakan kebebasan mereka
secara bertanggungjawab.”[12]
Sekolah Katolik, merupakan perlindungan bagi pribadi
manusia, baik murid maupun guru. Mereka mengusahakan hubungan yang
pantas di antara mereka dalam proses belajar mengajar. Dengan cara
inilah proses pembentukan karakter murid dapat berjalan dengan baik,
sebab dimulai melalui hubungan personal antara kedua belah pihak. Dengan
penekanan akan hubungan personal antara mereka yang terlibat dalam
pendidikan di sekolah, maka sekolah menjadi kelanjutan dari suasana
kekeluargaan di rumah. Dan dengan menerapkan prinsip-prinsip iman
Katolik dalam hubungan personal ini, maka lingkungan tersebut dapat
dikenali sebagai lingkungan sekolah Katolik.
3.5. Sekolah Katolik adalah komunitas pendidikan yang bercirikan Katolik
Melalui Inkarnasi, Kristus Sang Putera Allah menjelma
menjadi manusia, Sabda menjadi daging. Ia menjalani setiap jengkal
kehidupan sebagai manusia, dan dengan demikian meninggalkan suatu
‘meterai’ dalam setiap aspek dalam kehidupan Kristiani yang kita alami
di dunia ini. Maka Inkarnasi mengajarkan kepada kita bahwa dunia ini
merupakan alat yang dipilih Tuhan, untuk menyampaikan kehidupan-Nya
kepada kita. Maka apa yang bersifat manusiawi dan kelihatan dapat
mengandung apa yang ilahi. Demikianlah, sekolah Katolik juga harus dapat
menunjukkan kehidupan sakramental ini. Dalam sekolah Katolik, perlu
ditampilkan secara fisik dan kelihatan, semua tanda-tanda tradisi
Katolik, melalui gambar-gambar, tanda, simbol, ikon, dan berbagai macam
devosi. Sebuah kapel, ruang kelas dengan crucifix, tanda-tanda, dan
perayaan, serta segala yang menggambarkan kehidupan gerejawi, termasuk
seni rupa yang baik, harus nampak di sekolah. Tanda-tanda ini
mengingatkan semua anggota komunitas akan fokus utama kegiatan belajar
dan mengajar di sekolah, yaitu agar bersama-sama mencapai kekudusan.
Ciri Katolik ini juga ditampakkan oleh komunitas yang
bersama berdoa, membaca Sabda Tuhan, yang mengambil bagian di dalam
liturgi dan sakramen. Setelah dikuatkan oleh Kristus yang hadir di dalam
doa, firman, liturgi dan sakramen, semua anggota komunitas dapat
berusaha untuk bersama menerapkan ajaran Kristus, dan dengan demikian
menjadi para saksi iman. Dijiwai oleh ajaran iman inilah maka baik para
guru maupun sesama murid berusaha untuk saling membantu. Maka ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak hanya digunakan untuk kemajuan diri
sendiri, tetapi untuk melayani dan saling bertanggungjawab satu sama
lain.[13]
Dalam komunitas ini, saling menghargai berarti melayani Kristus yang
hadir di dalam sesama, sehingga segala sesuatu yang dilakukan di sekolah
bertujuan untuk juga memajukan kebaikan bersama[14]
4. Diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya
Ciri ke-empat ini adalah ciri yang ditekankan oleh Tahta
Suci.Pendidikan iman Katolik harus menjiwai keseluruhan kurikulum dan
bukan hanya dibahas pada saat pelajaran agama atau kegiatan pastoral di
sekolah. Gereja menganjurkan pendidikan yang menyeluruh, yang menanggapi
semua kebutuhan pribadi manusia. Untuk itulah Gereja mendirikan
sekolah-sekolah Katolik, sebab di sanalah tempat istimewa untuk
membentuk keseluruhan manusia, baik itu dimensi intelektualnya,
psikologis, moral maupun religius.
Agar maksud pendidikan secara keseluruhan ini, maka
pendidikan di sekolah Katolik harus secara terus menerus mengambil
kekuatannya dari Injil, yaitu dari teladan Kristus itu sendiri. Banyak
orang menyangka bahwa identitas pendidikan Katolik terletak dari
kualitas ajaran religiusnya, pelajaran agama dan aktivitas pastoral.
Namun sebenarnya, sekolah Katolik itu disebut Katolik, bahkan di luar
program ajaran religius. Ciri katolik-nya nampak dari keseluruhan upaya
untuk mendidik muridnya secara keseluruhan, untuk mencapai
kesempurnaannya secara kodrati maupun adikorati. Maka pendidikan tidak
hanya mengejar kepandaian intelektual, tetapi juga kebajikan moral,
untuk mempersiapkan para murid kepada kehidupan yang penuh untuk
melayani sesama, dan untuk kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.
Memang pihak Vatikan tidak menentukan dokumen yang menyebutkan tentang “lesson planning”
atau berbagai mata pelajaran yang disarankan, ataupun metodologi yang
diterapkan. Namun Tahta Suci memberikan prinsip dan tolok ukur yang
mendorong penentuan isi kurikulum, agar para murid dapat diarahkan
kepada pendidikan yang menyeluruh. Berikut ini adalah aspek yang
penting, yaitu: 1) prinsip kebenaran dan 2) integrasi antara iman,
kebudayaan dan kehidupan.
4.1 Mencari Kebijaksanaan dan Kebenaran
Sekolah Katolik perlu mengupayakan agar tidak hanya
menyampaikan informasi kepada para murid yang pasif. Para pendidik perlu
mengajarkan kebijaksanaan, mendorong para murid untuk bersikap aktif,
mempunyai hasrat untuk belajar sehingga mereka menemukan suka cita dalam
proses belajar, mereka menjadi ‘senang belajar’.
Dalam proses belajar mencari kebijaksanaan, Gereja
mengajarkan bahwa manusia, walaupun terbatas dalam banyak hal, tetap
mempunyai kapasitas untuk sampai kepada pengetahuan akan kebenaran.
Keyakinan akan kebenaran ini sangatlah penting untuk ditekankan di
sekolah. Tidak seperti orang-orang yang skeptik dan relativistik, para
pendidik Katolik perlu menyampaikan tentang keyakinan akan kebenaran:
yaitu bahwa kita -walaupun secara terbatas namun tetap nyata- dapat
mengejar, mencapai dan menyampaikan kebenaran. Sekolah Katolik mengemban
tugas yang penting untuk membebaskan para muridnya dari akibat-akibat
yang membahayakan terhadap apa yang disebut oleh Paus Benediktus XVI
sebagai “dictatorship of relativism” (pemaksaan paham
relativisme), sebuah pemaksaan yang melumpuhkan hakekat pendidikan yang
murni. Maka para pendidik juga perlu memiliki di dalam diri mereka
sendiri, dan mendorong para muridnya untuk mencari kebenaran, yang
mengalahkan paham relativisme dalam hal moral maupun budaya. Anak-anak
harus dididik di dalam kebenaran, sehingga mereka mampu membuat
keputusan yang benar dan bijaksana, meskipun di sekeliling mereka
melakukan hal yang keliru secara moral, menurut ajaran Injil Kristus.
Pendidikan Katolik menganggap ilmu pengetahuan sebagai
kebenaran untuk ditemukan. Penemuan dan kesadaran akan kebenaran
memimpin manusia kepada penemuan akan Sang Kebenaran, itu sendiri. Maka
walaupun sekolah-sekolah Katolik menyampaikan kurikulum yang
disyaratkan, namun mereka mengimplementasikannya dengan keseluruhan
perspektif religius. Perspektif ini termasuk kriteria seperti keyakinan
akan kemampuan kita mencapai kebenaran, walau dalam cara yang terbatas-
keyakinan yang berdasar akan iman dan bukan atas dasar perasaan, dan
kemampuan untuk membuat penilaian akan sesuatu yang benar, dan sesuatu
yang salah. Keyakinan semacam ini harus ada dalam sekolah-sekolah
Katolik.
4.2. Integrasi iman, budaya dan kehidupan
Prinsip penting yang kedua, yang berlangsung sejak zaman
para rasul sampai sekarang adalah bahwa umat beriman harus berperan
dalam mengubah budaya dalam terang Injil. Sekolah-sekolah harus
mempersiapkan para murid untuk menghubungkan iman Katolik dengan budaya
mereka dan untuk menghidupi imannya itu dalam perbuatan.
“Dari hakekat sekolah Katolik, juga memancar satu dari
elemen-elemen yang paling penting untuk proyek pendidikannya: sintesis
antara budaya dan iman. Sungguh, pengetahuan yang diletakkan di dalam
konteks iman menjadi kebijaksanaan dan visi kehidupan. Usaha untuk
menggabungkan akal budi dan iman, yang telah menjadi inti dari setiap
mata pelajaran, menciptakan persatuan, artikulasi dan koordinasi, yang
menghasilkan dalam apa yang dipelajari di sekolah, sebuah visi Kristiani
tentang dunia, kehidupan, budaya dan sejarah. Dalam proyek pendidikan
di sekolah Katolik, tidak ada pemisahan antara waktu belajar dan waktu
membentuk karakter, antara mendapatkan pengetahuan dan bertumbuh dalam
kebijaksanaan. Berbagai mata pelajaran di sekolah tidak hanya memberikan
pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai untuk diperoleh dan
kebenaran-kebenaran untuk ditemukan. Semua ini menuntut atmosfir yang
ditandai dengan pencarian kebenaran, yang di dalamnya para pendidik yang
kompeten, yakin dan koheren, para guru pelajaran dan guru kehidupan,
menjadi cerminan, walaupun tidak sempurna, namun tetap jelas, dari Sang
Guru yang satu. Dalam perspektif ini, dalam proyek pendidikan Kristiani,
semua tokoh yang bekerjasama, masing-masing menurut bagiannya yang
khusus, untuk pembentukan pribadi-pribadi yang dewasa”[15]
Sekolah-sekolah membentuk para murid, di dalam budaya
mereka di mana mereka mengajarkan penghargaan akan elemen-elemen
positifnya dan berusaha membantu mereka untuk memajukan selanjutnya
inkulturasi Injil di dalam keadaan mereka sendiri. Namun demikian,
mereka, selayaknya menurut umur para murid, menjadi kristis dan
evaluatif. Iman dan budaya secara erat berhubungan, dan para murid harus
diarahkan, denga cara yang cocok/ sesuai dengan perkembangan tingkat
intelektualnya, untuk menangkap pentingnya hubungan ini. Kita harus
selalu mengingat bahwa iman tidak untuk diidentifikasikan dengan budaya
apapun, dan iman harus tidak tergantung oleh semua budaya, tetapi iman
harus menginspirasikan setiap budaya.
Maka sekolah Katolik menjadi tempat di mana terdapat
keharmonisan iman, budaya dan kehidupan. Yang menjadi pusat dalam
sekolah Katolik adalah misinya akan kekudusan, untuk menjadikan para
muridnya sebagai orang-orang yang kudus. Sekolah Katolik bertujuan
membentuk para muridnya dalam kebajikan-kebajikan yang memampukan mereka
hidup di dalam Kristus dan membantu mereka untuk memainkan peran mereka
untuk membangun Kerajaan Allah, sesuai dengan tanggung jawab yang
mereka terima melalui Sakramen Baptis.
Di samping pentingnya penerapan prinsip pendidikan Katolik
di seluruh kurikulum secara terintegrasi, adalah penting dan mendasar
bagi sekolah Katolik untuk memberikan ajaran agama dengan baik.
Pendidikan iman merupakan bagian yang penting dan menentukan baik
tidaknya sekolah Katolik. Bagi anak-anak, ajaran ini merupakan
pengetahuan iman namun juga penerapannya dalam kehidupan. Namun sekali
lagi, pendidikan agama bukan hanya satu-satunya yang menentukan ciri
sekolah Katolik. Pandangan yang hanya membatasi pendidikan iman Katolik
dengan pelajaran agama Katolik, menyuburkan kesalahpahaman bahwa iman
dan kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang terpisah, dan bahwa
agama hanya merupakan urusan pribadi pada waktu-waktu tertentu saja,
yang tidak memberikan kewajiban moral yang terus berlaku di dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Didukung oleh kesaksian Injil
Akhirnya, identitas sekolah Katolik ditentukan juga oleh
peran yang vital/ sangat penting dari para gurunya. Pada pundak mereka,
baik secara pribadi maupun bersama-sama, terletak tanggungjawab untuk
menciptakan iklim sekolah Kristiani. Maka Tahta Suci menekankan bahwa
panggilan sebagai guru adalah suatu panggilan, bukan hanya sekedar
profesi atau pekerjaan. Sebab dengan melakukan panggilan ini, seorang
guru mengambil bagian dalam misi Gereja untuk mendidik generasi
penerusnya.
Dengan kata lain, mereka yang Katolik dan terlibat di dalam
sekolah-sekolah Katolik, harus menghayati pekerjaannya sebagai
pemenuhan panggilan hidupnya. Berikut ini adalah beberapa ciri yang
semestinya dimiliki oleh seorang guru di sekolah Katolik:
5.1. Seorang Katolik yang melaksanakan imannya, yang mempunyai ketaatan kepada Gereja dan menghidupi kehidupan sakramental Gereja.
Guru-guru yang mempunyai pemahaman yang jelas dan tepat
tentang hakekat dan peran pendidikan Katolik, sangatlah diperlukan. Maka
pemilihan guru-guru Katolik dengan cermat juga akan memajukan
katolisitas sekolah tersebut. Guru-guru Katolik yang mengenali imannya
dan melaksanakannya dalam kehidupan mereka, merupakan saksi iman yang
diperlukan oleh Gereja untuk pendidikan Katolik.
Kesetiaan terhadap maksud pendidikan sekolah-sekolah
Katolik mensyaratkan sikap yang kritis dari pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya, agar terus memeriksa diri, kembali ke prinsip-prinsip dasar
dan kepada hal-hal yang mendorong keterlibatan Gereja dalam hal
pendidikan.[16]
Artinya, agar seseorang dapat menjadi seorang guru yang baik di sekolah
Katolik, ia pertama-tama harus mempunyai visi rohani, yang mampu
melihat tugas-tugasnya sebagai guru adalah jalan yang dipilihnya untuk
melaksanakan imannya, dalam kesatuan dengan Gereja untuk memperkenalkan
Kristus kepada anak-anak didiknya dan mengarahkan anak-anak didiknya
kepada Kristus.
5.2. Seorang yang dapat menjadi teladan dalam hal iman, kebajikan dan kasih
Untuk memajukan pandangan Katolik di seluruh kurikulum,
bahkan dalam mata pelajaran yang sekuler, maka teladan para guru dan
para pendidik menjadi sangat penting. Kesaksian iman para pendidik di
komunitas sekolah memainkan peran yang sangat vital bagi identitas
sekolah. Anak-anak lebih cepat meniru dari teladan, daripada dari
teknik-teknik yang diajarkan, terutama dalam mempraktekkan kebajikan
Kristiani. Para pendidik diharapkan menjadi teladan bagi para murid
dengan menjadi saksi Injil. Maka benarlah perkataan Paus Paulus VI,
“Orang modern lebih mau mendengarkan para saksi iman daripada para
pengajar, dan jika mereka mendengarkan para pengajar, itu disebabkan
karena mereka adalah para saksi iman.”[17]
Dalam pendidikan Katolik, pesan Kristiani yang disampaikan tidak
tergantung dari mata pelajaran atau metodologi yang dipergunakan, tetapi
oleh para guru itu sendiri, yaitu bagaimana di dalam diri mereka para
murid dapat melihat bagaimana ajaran iman diterapkan dan menjadi satu
dengan kehidupan sehari-hari.[18]
Jadi apa yang dilakukan oleh para guru dan bagaimana mereka
bertindak menjadi sangat penting daripada apa yang mereka katakan, baik
di luar maupun di dalam kelas. Demikianlah caranya Gereja melakukan
evangelisasi. Semakin sempurnanya seorang pendidik dapat memberikan
kesaksian yang nyata tentang teladan Kristus kepada para muridnya,
semakin contoh ideal ini dipercaya dan ditiru. Maka, jika para guru
gagal untuk menjadi teladan kesetiaan kepada kebenaran dan kebajikan,
bahkan kurikulum yang terbaik sekalipun tidak akan dapat menghasilkan
ethos yang baik bagi sekolah Katolik tersebut.
5.3. Seseorang yang menjalankan semangat Injil: berpihak kepada yang lemah
5.4. Seseorang yang menjalankan tugas panggilan sebagai guru dengan suka cita!
Injil adalah Kabar Gembira, maka adalah wajar bahwa tugas
mewartakan Injil selayaknya dilakukan dengan gembira. Kristuslah sumber
suka cita kita, Dia-lah yang menyertai dan mengerjakan di dalam kita,
pekerjaan-Nya untuk membimbing anak-anak didik kita. Rasul Paulus
mengajarkan: “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu bagik kemauan
maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Lakukanlah segala sesuatu dengan
tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib
dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di
tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga
kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia…. Dan
kamu juga harus bersukacita…“ (Flp 2:14-15,18)
Marilah kita melakukan tugas panggilan kita dengan suka
cita, agar kita dapat meneruskan terang Kristus kepada dunia di sekitar
kita.
Kesimpulan
Tahta Suci melihat bahwa sekolah-sekolah Katolik merupakan sarana yang tak tergantikan untuk melanjutkan misi Gereja di milenium yang ketiga ini. Adalah tantangan Gereja untuk menentukan identitas Katolik dalam sekolah-sekolah ini. Sekolah-sekolah Katolik dapat berperan membantu peran para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Sekolah-sekolah ini harus terbuka untuk semua, untuk membangun komunitas umat beriman, untuk meng-evangelisasi budaya dan melayani kepentingan bersama dalam masyarakat.Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali keberadaan dan kebesaran Tuhan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini akan membentuk karakter anak sebagai seorang yang menghargai kebaikan Tuhan dan campur tangan-Nya mengatur dan menyelenggarakan kehidupan mahluk ciptaan-Nya, sehingga kelak mereka akan terdorong untuk melestarikannya, ataupun menyikapinya dengan penuh tanggungjawab demi kesejahteraan manusia dan seluruh mahluk ciptaan lainnya. Akhirnya, kesadaran akan kebaikan dan kasih Tuhan ini mendorong anak-anak untuk membalas kasih Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan hidup dalam kasih yang dijiwai oleh iman inilah, anak-anak mengarahkan hati mereka kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu Sorga.
CATATAN KAKI:
- Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 10 [↩]
- Lih. The Catholic School, 12 [↩]
- lih. Archbishop J. Michael Miller CSB, The Holy See’s Teaching on Catholic Schools [↩]
- Paus Yohanes Paulus II mengingatkan para Uskup Amerika dalam kunjungan ad limina, di tahun 2004 [↩]
- Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 10 [↩]
- Sacred Congregation for Catholic Education, The Catholic School, 35 [↩]
- The Sacred Congregation for Catholic Education, Lay Catholics in Schools: Witnesses to Faith, 18 [↩]
- Congregation for Catholic Education, Religious Dimension of Education in a Catholic School, Guidelines for Reflection and Renewal, 31 [↩]
- Pope Paul VI, Allocution to the 9th Congress of the OIEC in, L’Osservatore Romano, June 9, 1974 [↩]
- Religious Dimension of Education in a Catholic School, 40 [↩]
- lih. The Catholic School, 21 [↩]
- The Sacred Congregation for Catholic Education, Lay Catholics in Schools: Witnesses to Faith, 33 [↩]
- lih. The Catholic School, 14 [↩]
- lih. The Catholic School, 16 [↩]
- Congregation for Catholic Education, The Catholic School on the Threshold of the Third Millennium, 14 [↩]
- The Catholic Church, 18 [↩]
- Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, 41 [↩]
- lih. The Catholic School, 11 [↩]
- lih. Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 8 [↩]
Sumber : http://katolisitas.org/11664/apakah-sekolah-katolik-sungguh-katolik
No comments:
Post a Comment