Wawancara:
Sebelum memainkan peran Yesus, pernahkah orang mengatakan bahwa kamu mirip Yesus?
Tidak
pernah. Waktu aku lebih muda, seseorang mengatakan bahwa aku mirip Mel
Gibson. Ketika aku mengatakannya kepada Mel, ia menjawab sambil tertawa,
“Tidak, aku jauh lebih cakep.”
Bagaimana kamu mendapatkan peran ini?
Dalam
suatu pertemuan makan siang di Malibu, Mel bertanya, “Tahukah kamu
bagaimana sesungguhnya Yesus wafat?” Aku mengerti maksudnya dan
bertanya, “Kamu ingin aku memerankan Yesus?” Mel menatapku dan menjawab,
“Ya.”
Aku
merasa takut sekaligus gembira. Aku mengatakan ya kepada seseorang yang
akan menjadikan kisah Injil hidup. Kemudian Mel mengatakan bahwa ia
akan membuatnya dalam bahasa yang sudah mati: Aram, Ibrani kuno dan
Latin.
Keesokan
harinya Mel menelepon dan bertanya, “Apakah kamu sungguh mau berperan
dalam film ini? Jika aku adalah kamu, aku tidak akan mau menerimanya.”
Sepertinya ia hendak mengujiku, sebab peran ini dapat berarti tamatnya
karirku. Aku menjawab bahwa setiap kita harus memikul salib kita
masing-masing - baiklah kita mengambil dan memikulnya, jika tidak, kita
akan jatuh tertimpa olehnya.
Mel
mengatakan bahwa akan banyak yang menentang dan ia bertanya apakah aku
siap. Aku mengatakan bahwa aku telah mempersiapkannya sepanjang hidupku.
Dan memang demikian.
James
Caviezel dilahirkan di Washington pada tahun 1968 sebagai seorang dari
empat bersaudara dalam keluarga Katolik yang taat. Ia bercita-cita
menjadi seorang pemain basket NBA. Tetapi, harapannya itu hancur ketika
ia mengalami cedera kaki semasa kuliah.
Aku
hanya ingin menjadi seorang pemain bola basket profesional, tetapi aku
merasa Tuhan merencanakan yang lain. Ayahku mengatakan, “Jika Tuhan
memanggilmu untuk melakukan sesuatu, tidakkah kau pikir Ia memanggilmu
untuk menjadi seorang imam?” dan aku pikir benar. Tetapi kemudian,
datang tawaran-tawaran untuk berperan, dan aku tahu, aku mulai menyadari
bahwa Tuhan yang memberikannya kepadaku. Aku percaya bahwa Ia
menghendaki aku memerankan Yesus. Ia mempersiapkanku untuk ini sejak
lama, dengan memberiku peran-peran lain yang aku mainkan sebelumnya.”
Apakah Mel menceritakan mengapa ia ingin membuat film ini?
Mel
mengatakan bahwa ia mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya dan ia
kembali kepada Injil sekitar 12 tahun yang lalu. Ia mulai melakukan
meditasi sengsara dan wafat Yesus. Dengan meditasi itu, Mel mengatakan
bahwa luka-luka Kristus menyembuhkan luka-lukanya. Dan aku pikir hal itu
tampak nyata dalam film.
Persiapan Caviezel bukan hanya belajar bahasa Aram kuno, melainkan juga doa - sebelum, selama dan sesudah pembuatan film.
Doa,
doa, dan doa. Mel dan aku hanyalah pekerja-pekerja Tuhan dan hanya
itulah yang terus-menerus kami minta. Karena itulah kami memusatkan diri
setiap hari pada Perayaan Misa dan menerima Ekaristi Kudus. Tak sehari
pun terlewatkan selama masa pembuatan film itu di mana aku tidak
menerima Komuni. Aku berusaha menjadi seorang Katolik yang terbaik. Aku
kembali pada kebenaran: apa yang Tuhan kehendaki aku lakukan? Selalu
kembali pada: apa yang Tuhan kehendaki?
Tantangan terberat apa yang harus kamu hadapi selama pembuatan film?
Dulunya
aku pikir belajar bahasa-bahasa kuno akan menjadi tantangan terberat.
Tetapi, ternyata penderitaan fisik jauh lebih berat.
Sejak
dari awal, pembuatan film ini merupakan siksaan bagiku dalam segala
bentuk. Aku diludahi dan dipukuli. Aku memanggul salibku selama
berhari-hari, lagi dan lagi menyusuri jalan-jalan yang sama; tulang
bahuku sempat terlepas karena beban salib yang berat.
Aku
tidur empat jam sehari. Pukul 2 pagi aku harus mulai di makeup; aku tak
dapat duduk, karena makeup akan lengket di tubuhku. Delapan jam
diperlukan untuk mengenakan makeup padaku dan kemudian dua jam
diperlukan untuk melepaskan semua makeup itu plus aku harus duduk di
bawah pancuran air selama setengah jam agar makeup benar-benar lepas.
Juga, karena makeup yang hebat, aku tidak dapat melihat dengan mata
kananku, sehingga aku mengalami hyper-focus pada mata kiri. Dengan
segala makeup yang menempel di tubuhku, kadang, aku merasa gatal-gatal
seperti terbakar di sekujur tubuhku. Mel akan menghampiriku dan
bercanda, “Jim, kamu adalah pizza terbesar di seluruh dunia.”
Pengambilan
gambar dilakukan di Italia pada musim dingin. Aku tergantung di atas
salib, hanya dengan selembar kain penutup pinggang, di tengah udara yang
dingin membeku. Aku memandang ke bawah melihat ratusan krew dengan
jaket tebal dan syal serta sarung tangan, sementara aku sendiri tak
dapat berbuat apa-apa karena tangan-tanganku terikat pada kayu salib.
Angin bertiup mengiris-iris tubuhku. Karena dingin yang menggigit, aku
menderita hypothermia, yang rasanya seperti menjepitkan seluruh tubuhmu
dalam balok es. Sungguh menderita. Aku sulit bernapas, tidak dapat
mencerna makanan dengan baik, berat badanku turun drastis dan aku
menderita sakit kepala berkepanjangan. Mesin pemanas memang ada, tetapi
tidak mungkin didekatkan padaku karena segala makeup itu akan meleleh.
Aku
ingat suatu ketika, di atas salib, aku mengeluh kepada Tuhan, “Jadi,
apakah Engkau tidak menginginkan film ini dibuat?” Pada akhirnya, aku
harus pergi ke tempat yang lebih dalam dari kepalaku, aku harus pergi ke
dalam hatiku. Dan satu-satunya cara untuk sampai ke sana adalah dengan
doa. Sungguh menyakitkan.
Adegan
yang cukup lama di mana Yesus didera dengan cambuk-cambuk besi sungguh
mengerikan. Untuk adegan ini Mel telah mengatur supaya ditempatkan suatu
papan di punggungku, kira-kira setengah inci tebalnya, agar para
prajurit Romawi tidak mengenai punggungku. Tetapi, pukulan salah seorang
dari mereka luput, menghantam tepat di punggungku dan merobek kulitku.
Aku tidak dapat berteriak, aku tidak dapat bernapas. Pukulan itu begitu
menyakitkan hingga seluruh sistem tubuhku tergoncang. Aku jatuh
tersungkur dan Mel mengatakan, “Jim, ayo bangun.” Ia tidak tahu bahwa
aku sungguh terkena. Cambukan itu meninggalkan luka sepanjang 14 inchi
(± 36 cm) di punggungku yang kemudian menjadi contoh untuk 'membuat'
luka-luka penderaan lainnya. Aku tidak terkena pukulan lagi sesudahnya,
tetapi insiden itu menyadarkanku akan bagaimana kira-kira rasanya
dicambuk.
Aku
menganggap semua penderitaan itu layak untuk memainkan peran Yesus.
Peran ini sungguh berarti bagiku. Dengan memerankannya, aku jauh lebih
menghayati Jalan Salib. Jalan Salib adalah sengsara Kristus demi umat
manusia, demi menebus dosa-dosa kita, demi membawa kita kembali kepada
Allah; dan Kasih yang melakukan semuanya.
Menurut cerita, kamu disambar petir juga?
Oh,
ya! Waktu itu kami sedang shooting Khotbah di Bukit. Semuanya amat
tenang, hingga kemudian, tiba-tiba rasanya seperti seseorang menampar
telingamu dengan kuat. Aku seperti melihat warna merah sekitar tujuh
delapan detik. Orang mulai berteriak. Mereka mengatakan bahwa aku
seperti terbakar api di bagian sebelah kiri kepalaku dan bercahaya di
sekujur tubuhku. Apa yang dapat aku katakan adalah bahwa aku kelihatan
seperti baru saja pergi ke salon Don King. Aku mendongak ke atas dan
bertanya, “Apakah Engkau tidak menyukainya?”
Yang
menakjubkan, tak seorang pun mengalami luka-luka akibat sambaran petir.
Banyak peristiwa menakjubkan lainnya yang terjadi saat pengambilan
gambar. Seorang imam melayani Sakramen Ekaristi setiap hari dan terjadi
juga beberapa penyembuhan. Orang-orang disembuhkan. Tuhan ada di sana.
Kalian dapat merasakannya.
Ketika
dua tahun yang lalu, Mel Gibson memilihnya untuk memerankan Yesus dalam
The Passion of the Christ, bukan suatu kebetulan bahwa ia memiliki
wajah yang tepat (Kata Mel, “Wajahnya memancarkan kemurnian dan
ketakberdosaan kanak-kanak, yang menurutku sangat penting.”), usia yang
tepat, 33 tahun, dan inisial nama yang tepat, JC (untuk Jesus Christ).
James Caviezel seorang Katolik yang taat.
Bagaimana peran sebagai Yesus mempengaruhimu dalam berdoa rosario?
Aku
berpendapat bahwa tidaklah mungkin aku memerankannya sebaik dalam The
Passion tanpa imanku. Setiap hari sebelum pergi ke lokasi shooting, aku
mempersiapkan diri dalam meditasi atau melalui rosario, selalu dengan
perantaraan Maria. Aku menerima Sakramen Tobat; Roh Kudus membantuku
menyadari dosa-dosaku. Kemudian, aku ambil bagian dalam Perayaan
Ekaristi dan senantiasa apabila aku menerima Ekaristi dalam tubuhku, aku
merasa semakin berada dalam Kristus.
Walaupun
demikian, Mel tidak memilihku karena aku seorang Katolik. Mel juga
memilih orang-orang Yahudi, Muslim, bahkan mereka yang tidak beragama.
Ia memilih mereka karena mereka hebat dalam profesi mereka.
Apakah berperan sebagai Yesus mempertebal imanmu?
Aku
mengasihi-Nya lebih dari yang aku pikir mungkin aku lakukan. Aku
mengasihi-Nya lebih dari isteriku, keluargaku. Ada saat-saat ketika aku
di sana (di atas salib), dan aku hampir-hampir tak dapat berbicara.
Serangan hypothermia menyiksa terus-menerus, aku terhubung ke suatu
tempat yang tak akan pernah mungkin aku pergi. Aku tidak ingin orang
melihatku. Yang aku inginkan ialah mereka melihat Yesus Kristus.
Caviezel
tidak khawatir dunia tahu bahwa ia seorang religius. Ia bangga akan
imannya dan senang membicarakannya - meskipun para wartawan Hollywood
telah memintanya untuk tidak menyinggungnya dalam wawancara. Ketika
ditanyakan apakah iman Kristianinya juga berperan penting dalam hidup
sehari-harinya dan dalam hidup perkawinannya, ia menjawab:
Apakah
kamu bergurau? Tidak punya iman dan tidak berdoa di sini, di tempat
ini, akan sama seperti pergi ke medan perang tanpa senjata.
Sama
seperti orang beriman lainnya, iman Caviezel merupakan suatu proses -
iman yang tumbuh selama bertahun-tahun dan semakin nyata sebagai akibat
dari campur tangan Tuhan, kadang-kadang lewat cara yang paling aneh.
Iman merupakan suatu proses dan Tuhan menyatakan kebenaran-Nya kepada kita pada waktunya.
Apakah pertentangan mengenai film dan tuduhan bahwa Mel seorang anti-Yahudi mengejutkanmu?
Ini
hal yang paling menyedihkan. Yang dapat aku katakan adalah bahwa Mel
Gibson sama sekali bukan seorang anti-Yahudi. Tak pernah aku melihatnya
bersikap demikian. Maia Morgenstern (yang berperan sebagai Bunda Maria)
adalah seorang aktris cantik Yahudi Roma yang orangtuanya tewas dalam
pembantaian orang-orang Yahudi. Setiap hari Mel akan bertanya, “Maia,
ceritakan padaku mengenai adat istiadatmu. Maukah kau?” Ia ingin membuat
film ini se-Yahudi mungkin. Ia menghendaki seorang Yesus yang amat
Yahudi. Iman kita berakar dalam tradisi Yahudi. Kita percaya kita adalah
keturunan Daud; kita percaya kita adalah keturunan Abraham; jadi, tidak
mungkin kita membenci diri kita sendiri. Orang banyak yang berdiri di
hadapan Pontius Pilatus berteriak-teriak menuntut nyawa Kristus tidak
mungkin membuktikan bahwa seluruh bangsa menghendaki kematian-Nya. Sama
halnya, karena perbuatan-perbuatan Mussolini tidak mungkin kita mengutuk
seluruh bangsa Italia, atau karena tindakan-tindakan bengis Stalin
tidak mungkin kita mengutuk seluruh bangsa Rusia. Kita semua bersalah
atas wafat Kristus. Dosa-dosaku menghantar-Nya ke salib. Dosa-dosa
kalian juga.
Apakah sulit bersikap diam sementara kalangan Yahudi meneriakkan protes mereka?
Mereka
punya hak untuk mempertahankan iman mereka. Tetapi, aku yakin bahwa
apabila saudara-saudaraku Yahudi menyaksikan film ini, mereka akan sadar
bahwa film ini bukan tentang mempersalahkan siapa. Melainkan tentang
cinta. Tentang pengorbanan. Tentang pengampunan dan pengharapan.
James
Caviezel mencengangkan banyak orang ketika dalam pengambilan gambar
untuk suatu adegan dalam film “Angel Eyes” ia meminta lawan mainnya,
Jennifer Lopez, untuk mengenakan kembali pakaiannya. Ia juga membuat
marah sutradara film “High Crimes” karena melakukan hal yang sama
terhadap aktris cantik Ashley Judd.
Sungguh
sulit beradegan tanpa busana dalam film. Aku beranggapan ini tidak
benar. Jangan salah sangka. Aku suka bermain dalam film, tetapi tidak
dalam film yang mengumbar nafsu. Juga dalam kekerasan liar. Bukan hanya
karena isteriku, meskipun itu penting. Itu dosa; yang aku maksud itu
salah. Tetapi, aku tidak suka membicarakan hal-hal seperti itu.”
Teman-temannya
mengatakan bahwa Caviezel bertekad untuk tidak bersikap seperti seorang
bintang. Ketika ditahan oleh satpam dalam suatu pemutaran film perdana
karena tidak membawa karcis, ia tidak mengatakan bahwa ia salah seorang
aktornya. Meskipun film “The Passion of the Christ” meraih sukses, ia
tetap rendah hati.
Bukan
aku; bukan Mel Gibson. Malahan bukan tentang film itu sendiri atau
suksesnya. Aku ingin orang pergi dengan penghayatan siapa Yesus
sesungguhnya. Ia seorang pria sejati. Sungguh suatu kehormatan besar
bagiku boleh berperan sebagai Putra Allah. Tapi, aku tidak mau orang
melihat aku. Aku ingin mereka melihat hanya Yesus.
Pertengahan
Maret 2004, James Caviezel beserta isterinya, Kerry (seorang guru
sekolah), beroleh kesempatan diterima Bapa Suci dalam suatu audiensi
pribadi di ruang perpustakaan Bapa Suci di Vatikan, Roma. Dalam
kesempatan tersebut, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan berkat serta
menghadiahkan seuntai rosario kepada Caviezel.
dari berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
No comments:
Post a Comment