Hukuman Mati yang Ngeri dan Keji
oleh: P. Kamilus Ndona Sopi, CP.
Hukuman
mati ini berasal dari negeri Persia, kemudian diambil alih oleh Yunani,
dan sejak perang dengan Kartago, orang Roma pun menggunakan hukuman
salib. Oleh bangsa Romawi salib dijadikan alat hukuman yang paling kejam
terhadap para budak dan orang-orang asing (terutama orang jajahan) yang
memberontak.
Konon,
hukum Yahudi menentukan bahwa para pemuja berhala, penghojat dan
pemberontak dirajam dengan batu dan digantung pada sebuah tiang. Mereka
dibiarkan mati secara mengerikan karena dipandang sebagai yang terkutuk
oleh Allah. Dan agar tidak menajiskan, maka mayatnya segera dikuburkan
(Ul 21:23). "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Gal
3:13).
Penyaliban
kerap diawali penderaan dengan tujuan untuk memperlemah daya tahan
tubuh si terhukum agar tidak dapat melawan dan sebagai bahan olok-olok.
Cara mendera orang Yahudi berbeda dengan orang Romawi. Orang Yahudi
tidak boleh memberikan deraan lebih dari empat puluh pukulan,
masing-masing pada bahu kiri dan kanan serta dada. Sedangkan orang
Romawi tidak ada batasnya; mereka boleh memukul di mana saja. Alat
penderaan terbuat dari cambuk yang ujungnya diperkuat dengan batu-batu
timah dengan paku-paku kecil di ujungnya atau tulang punggung binatang
yang telah diruncingkan ujung-ujungnya.
Tangan
si terhukum diborgol dan diikat pada sebuah tiang yang tingginya
berukuran kurang lebih 60 cm. Dalam posisi membungkuk si terhukum didera
oleh algojo-algojo yang tidak berperikemanusiaan. Kedahsyatan penderaan
dapat menyebabkan banyak luka dan darah di seluruh tubuh si terhukum,
sehingga rupanya pun tak tampak (Yes 1:6; 53: 3-4. Yesus Sendiri disesah
secara luar biasa, di mana Ia menerima tidak kurang dari 121 kali
deraan atau tidak kurang dari 726 luka di sekujur Tubuh-Nya). Luka-luka
dan aliran darah bekas penderaan tentu saja mempercepat proses kematian.
Patibulum
adalah kayu palang yang beratnya berkisar antara 50-60 kg dan
panjangnya sekitar 1,5 meter dengan lubang di tengahnya. Si terhukum
dipaksa untuk membawa sendiri patibulum-nya ke tempat pelaksanaan
hukuman mati. Tempat eksekusi biasanya sangat strategis agar mudah
ditonton orang yang lewat. Di tempat ini telah dipancang tiang vertikal (stipes), yang ujungnya dibuat lebih kecil sehingga patibulum mudah dimasukkan padanya.
Kedua
tangan si terhukum diikat terentang pada patibulum yang diletakkan pada
bahunya. Tali dililitkan pada tangan kanan membelit lengan, melingkari
dada, lalu membelit lengan kiri, mengikat tangan kiri; ujung tali diikat
pada pergelangan kaki kiri, sehingga ia terpaksa berjalan membungkuk,
tidak bebas dan menimbulkan tertawaan khalayak ramai yang
menyaksikannya.
Tiba
di tempat hukuman si terhukum dibaringkan. Lebih dahulu tangannya
direntang, dipaku dan/atau diikat pada patibulum di atas tanah, kemudian
patibulum dengan orangnya diangkat dan ditancapkan pada tiang stipes
melalui lubang patibulum itu. Sesudah itu kaki si terhukum dipakukan
pada tiang stipes.
Ada sebatang kayu kecil (sedicula)
ditempelkan pada bagian pantat atau pun telapak kaki. Dengan demikian
lengan si terhukum tidak mudah sobek dan ia akan bertahan lebih lama
pada salib. Kemudian si terhukum dibiarkan tergantung pada kayu salib
sampai ia wafat. Untuk mempercepat proses kematian, si terhukum
seringkali disesah dan kakinya dipatahkan (crurifragium) (bdk Yoh 19: 31-32).
Bagi
yang tidak punya kuburan, mayat si terhukum seringkali dibiarkan
membusuk, bahkan menjadi mangsa serangga dan binatang buas. Namun, kerap
juga kaum kerabat atau keluarga meminta izin dengan memberi sejumlah
uang kepada penguasa, supaya mayat si terhukum dapat dikuburkan.
sumber: “Salib Selayang Pandang” oleh Rm. Kamilus Ndona Sopi, CP; Biara Passionis, Malang
tambahan: "Manusia Kain Kafan" oleh A. Widyamartaya; Penerbit Kanisius & Gandum Mas
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
No comments:
Post a Comment