Passio Yesus Kristus
oleh: P. William P. Saunders *
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Passio” Yesus Kristus?
~ seorang pembaca di Arlington
Passio
berasal dari bahasa Latin “patior” yang artinya “sengsara”. Passio
Yesus Kristus menunjuk pada sengsara yang diderita Kristus demi menebus
umat manusia, berawal dari sakrat maut di Taman Getsemani hingga
wafat-Nya di Kalvari. Kisah-kisah Sengsara dalam Injil menceritakan
detail sengsara Kristus, dan setidaknya sampai batas tertentu,
kisah-kisah tersebut sesuai dengan tulisan para ahli sejarah Romawi masa
itu - Tacitus, Seutonius dan Pliny Muda. Penemuan-penemuan arkeologi
yang dipadukan dengan penelitian-penelitian menggunakan ilmu kedokteran
modern menghasilkan gambaran yang akurat akan apa yang diderita Kristus.
Dalam abad di mana salib biasa digambarkan dengan Yesus “yang telah
bangkit” dan “sengsara” serta “korban” telah menjadi istilah-istilah
yang tidak disukai, hendaknya kita tidak kehilangan pandangan akan
kenyataan passio.
Setelah Perjamuan Terakhir, Yesus pergi ke Taman Getsemani di Bukit Zaitun. Kristus berdoa, “Ya
Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi
bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk
22:42). Yesus sadar sepenuhnya akan penderitaan yang Ia hadapi. Ia berdoa demikian khusuk hingga “peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Luk 22:44).
Ilmu kedokteran membuktikan bahwa orang dapat mengeluarkan keringat
darah jika ia berada dalam keadaan emosional yang sangat tinggi (suatu
kondisi yang disebut hematidrosis atau hemohidrosis), yang mengakibatkan
pendarahan lewat kelenjar-kelenjar keringat. Tak heran jika Bapa
mengutus seorang malaikat untuk menguatkan-Nya (Luk 22:43).
Kristus
kemudian ditangkap dan diadili di hadapan Mahkamah Agama yang dipimpin
oleh Imam Besar Kayafas. Menjawab pertanyaan mereka, Yesus memaklumkan, “Kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” (Mat 26:64).
Karena pernyataan-Nya itu, Ia dijatuhi hukuman mati karena menghujat
Allah, dan kemudian wajah-Nya diludahi, ditampar dan diolok-olok.
Mahkamah Agama dapat menjatuhkan hukuman mati kepada Kristus, namun
demikian mereka tidak memiliki wewenang untuk melaksanakannya; hanya
Pontius Pilatus, Gubernur Romawi, yang berwenang untuk memerintahkan
pelaksanaan hukuman mati.
Sebab
itu, pemimpin-pemimpin Yahudi membawa Yesus kepada Pilatus. Perhatikan
bagaimana dakwaan sekonyong-konyong berubah; para pemimpin Yahudi
mengatakan kepada Pilatus, “Telah kedapatan oleh kami, bahwa
orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada
Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus,
yaitu Raja.” (Luk 23:2). Bagaimana dengan dakwaan menghujat
Allah? Pilatus tidak peduli apakah Yesus ingin menjadi seorang mesias,
nabi, ataupun seorang pemimpin agama; tetapi, jika Yesus ingin menjadi
seorang raja, Ia merupakan ancaman bagi kekuasaan Kaisar. Segala bentuk
pemberontakan, pengkhianatan, atau subversi harus segera dijatuhi
hukuman yang kejam. Jadi, Pilatus bertanya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (Luk 23:3)
Pilatus
tidak menemukan bukti yang meyakinkan untuk menjatuhkan hukuman mati
kepada Yesus. Pilatus menantang para imam, tua-tua, dan rakyat, “Kamu
lihat sendiri bahwa aku telah memeriksa-Nya, dan dari
kesalahan-kesalahan yang kamu tuduhkan kepada-Nya tidak ada yang
kudapati pada-Nya.” (Luk 23:14). Ketika mencoba menawarkan untuk membebaskan seorang tahanan, Pilatus bertanya kepada orang banyak tentang Yesus, “Kejahatan
apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu
kesalahanpun yang kudapati pada-Nya, yang setimpal dengan hukuman mati.”
(Luk 23:22). Bahkan isteri Pilatus memohon kepadanya untuk tidak mencampuri perkara “orang benar” itu (Mat 27:19).
Pilatus
kemudian memerintahkan agar Yesus disesah (Yoh 19:1). Orang Romawi
mempergunakan cambuk pendek (flagrum atau flagellum) dengan beberapa
tali kulit tunggal atau tali kulit berjalin. Bola-bola besi atau
kait-kait terbuat dari tulang atau kerang disisipkan dengan jarak
bervariasi sepanjang tali kulit dan pada ujung-ujungnya. Korban dilucuti
pakaiannya dan didera sepanjang punggung, pantat dan kaki-kakinya.
Cambuk merobek kulit dan menghujam hingga otot-otot terdalam; daging
terkoyak-koyak bersimbah darah. Korban berada di ambang batas shock;
dari banyaknya darah yang tercurah dapat diperkirakan berapa lama korban
akan sanggup bertahan di salib. Untuk memperhebat penyiksaan terhadap
Kristus, para serdadu menambahkan bentuk aniaya yang lain:
memahkotai-Nya dengan duri, mengenakan jubah ungu pada tubuh-Nya,
menempatkan sebatang buluh di tangan kanan-Nya, meludahi wajah-Nya, dan
mengolok-olok Dia, “Salam, hai Raja orang Yahudi!” (Mat 27:27-31).
Setelah
Yesus disesah, Pilatus sekali lagi menampilkan Kristus ke hadapan orang
banyak yang berteriak-teriak, “Salibkan Dia, salibkan Dia!” Takut akan
timbul pemberontakan, Pilatus menyerah dan memberikan Yesus untuk
disalibkan. Bangsa Romawi memiliki hukuman penyaliban yang telah
dirancang begitu rupa, hukuman salib sendiri kemungkinan berasal dari
Persia, agar mengakibatkan kematian secara perlahan-lahan dengan tingkat
kesakitan paling dahsyat. Penyaliban diperuntukkan bagi
penjahat-penjahat yang paling berbahaya. Hukuman penyaliban begitu ngeri
dan keji hingga Cicero (wafat tahun 43 SM) menetapkan undang-undang
dalam Dewan Romawi yang mengecualikan warga Romawi dari hukuman ini;
itulah sebabnya mengapa St. Paulus dipenggal kepalanya dan bukannya
disalibkan karena menjadi seorang Kristen.
Korban
diwajibkan memanggul sendiri salibnya agar pertahanan tubuhnya semakin
melemah. Karena keseluruhan salib beratnya sekitar 300 pounds (± 136
kg), biasanya ia memanggul hanya balok horisontalnya saja (patibulum)
(75-125 pounds = ± 34-57 kg) ke tempat pelaksanaan hukuman mati di mana
balok vertikal (stipes) telah dipersiapkan. Sepasukan pengawal militer
yang dipimpin seorang kepala pasukan memimpin arak-arakan. Seorang
prajurit membawa titulus di mana ditulis nama si terhukum dan kejahatan
yang dilakukannya, titulus itu nantinya akan dipasang pada salib (Mat
27:37). Dalam kasus Yesus, jalan yang harus ditempuh dari praetorium
menuju Golgota berjarak sekitar sepertiga mil (± 0,54 km). Yesus begitu
lemah hingga Simon dari Kirene dipaksa untuk membantu-Nya (Mat 27:32).
Setibanya
di tempat pelaksanaan hukuman mati, hukum menetapkan agar korban diberi
minum anggur pahit bercampur empedu untuk membantu menahan sakit (Mat
27:34). Korban kemudian dilucuti pakaiannya (kecuali jika hal ini telah
terjadi sebelumnya). Tangan-tangan-Nya direntangkan di atas patibulum
dan diikat atau dipaku, atau diikat dan dipaku. Bukti arkeologi
mengungkapkan bahwa paku-paku yang dipergunakan berupa besi berujung
runcing. Paku-paku tersebut panjangnya kurang lebih tujuh inci (± 18 cm)
dengan gagang persegi kurang lebih 3/8 inci (± 95 mm). Paku-paku
dipalukan menembusi pergelangan tangan antara tulang lengan dan tulang
hasta agar dapat menyangga berat tubuh korban. Patibulum dipasangkan ke
stipes, kemudian kaki korban diikat atau dipakukan langsung ke stipes
atau ke tempat tumpuan kaki (suppedaneum).
Sementara
korban tergantung di kayu salib, orang banyak biasa menyiksanya dengan
olok-olok dan makian (bdk Mat 27:39-44). Para prajurit Romawi seringkali
memaksa keluarga korban untuk menyaksikan untuk menambah penderitaan
batin korban. Para prajurit membagi-bagikan pakaian korban sebagai
bagian dari ganjaran mereka (Mat 27:35). Korban akan dibiarkan
tergantung di kayu salib selama tiga jam bahkan hingga tiga hari.
Sementara ia tergantung menderita kesakitan yang hebat,
serangga-serangga akan hinggap pada luka-luka yang menganga, atau pada
mata, hidung, dan telinga; burung-burung pada gilirannya akan menyambar
dan menggerogoti tubuhnya sebagai mangsa mereka. Dengan berbagai macam
siksa derita menyatu akibat banyaknya darah yang tercurah, trauma
penderaan dan kekurangan cairan, beban tubuh tertarik ke bawah dengan
bertumpu pada lengan-lengan yang terentang dan kedua bahu,
sehingga menyesakkan pernapasan. Korban akan mati perlahan-lahan akibat
tercekik. Mungkin itulah sebabnya mengapa Yesus berbicara hanya singkat
saja dari salib. Jika korban berusaha mengangkat tubuhnya dan bertumpu
pada kakinya untuk bernapas, rasa sakit yang luar biasa akan terasa pada
luka-luka paku dan luka-luka punggung akibat penderaan. Guna
mempercepat kematian, para prajurit akan mematahkan kaki korban (Yoh
19:32-33). Jika tampaknya korban sudah mati, para prajurit akan
meyakinkan kematiannya dengan menikam lambungnya dengan tombak atau
pedang; dan ketika hati Yesus ditikam, memancarlah darah dan air (cairan
dari kantung sekeliling jantung) (Yoh 19:34). Biasanya, mayat dibiarkan
di atas salib hingga membusuk atau dimangsa burung atau binatang liar;
tetapi, hukum Romawi mengijinkan keluarga kurban mengambil jenasah untuk
dimakamkan seijin Gubernur Romawi. Dalam kasus Yesus, Yusuf dari
Arimatea meminta jenasah Kristus kepada Pilatus dan Ia kemudian
dibaringkan dalam sebuah makam (Yoh 19:38).
Sementara
kita merenungkan misteri Pekan Suci yang sakral, patutlah kita
mencamkan dalam hati apa yang telah Kristus derita demi keselamatan
kita. Ia menyerahkan Diri-Nya Sendiri sebagai korban silih dosa yang
sempurna di altar salib dan membasuh dosa-dosa kita dengan Darah-Nya
yang kudus. Demikianlah kita wajib menyadari tanggung jawab kita untuk
menyesali dan bertobat dari dosa-dosa kita: Katekismus Gereja Katolik
(no. 598), dengan mengutip Katekese Romawi kuno menegaskan, “Semua
pendosa pun adalah 'penyebab dan pelaksana semua siksa yang [Kristus]
derita.' dan “Oleh karena dosa-dosa kita menghantar Kristus Tuhan kita
kepada kematian di kayu salib, maka sesungguhnya mereka yang bergelinding
dalam dosa dan kebiasaan buruk, 'menyalibkan lagi Anak Allah dan
menghina-Nya di muka umum.'” Kristus yang tersalib merupakan bukti nyata
kasih-Nya bagi setiap kita. Merenungkan sengsara-Nya akan memperkuat
kita dalam menghadapi pencobaan, menggerakkan kita untuk menerima
Sakramen Tobat lebih sering, dan menjaga kita agar senantiasa ada di
jalan keselamatan. Dengan memeluk Kristus yang tersalib dan salib-Nya,
kita menyongsong kemuliaan kebangkitan.
* Fr. Saunders is pastor
of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of
catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: What Is Meant by the 'Passion of Christ'?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
No comments:
Post a Comment