Social Icons

25 February 2011

"ADA APA DENGAN PERKAWINAN?"

Jumat, 25 Februari 2011
Mrk 10: 1-12

“Perceraian bukan saja menggali lubang luka dalam jiwa tapi lebih sebagai sebuah tindakan pembohongan diri akibat nafsu yg tak terkendalikan oleh pikiran dan hati.”

Saya mau menyanyi salah satu lagu favoritku untukmu; “Dunia ini panggung sandiwara...” kelanjutannya bisa ditemukan di outube...kikir amat ni si romo. Iya, tapi filmnya sedang dimainkan dan saudara dan saya adalah aktor atau aktris yang terlibat dalam film kehidupan yaitu dalam peranan yang berbeda; ada yang menjadi aktor/ris utama, yang lain pemeran pembantu bahkan ada juga yang menjadi pemeran antagonis atau penjahat. Lalu apa hubungannya dengan bacaan Injil hari ini tentang perceraian? Nantikanlah setelah yang satu ini...koq iklan terus sih?

Aku sudah menjadi imam menjelang tahun yang ke-10, dan sepanjang perjalanan waktu ini, hampir semua ibu yang datang dan menceritakan kisah mereka adalah kisah pisah ranjang atau perceraian dengan pasangan mereka. Alasannya pun beragam; dari masalah ekonomi keluarga; perselingkuhan, ketidak-cocokan dan beragama alasan lainnya. Demikian pun dari kalangan suster dan romo yang akhirnya meninggalkan imamat dan panggilannya karena alasan hubungan dengan wanita sampai ada bayi yang lahir dari relasi mereka. Lihatlah, betapa serunya film kehidupan ini, dan saudara dan aku bukan hanya seorang pemeran di atas panggung tapi selebihnya adalah sutradara utamanya, yang menciptakan film dan membiarkan orang lain mementaskannya, sementara kadang kita hanya berada di belakang layar panggung.

Jika hari ini kita diingatkan oleh Yesus bahwa “apa yang dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia,” maka mau mengatakan betapa bernilainya sebuah perkawinan di hadapan Allah, bukan karena perkawinan adalah semata suka-sukanya seorang pria dan wanita, tapi lebih dari itu, perkawinan memang direncanakan Allah sejak awal untuk menjadi tempat di mana kehidupan baru dimulai dan disemaikan. Dalam nada bercanda saya selalu mengatakan kepada teman-teman dekatku, terutama yang datang berkonsultasi tentang masalah perkawinan mereka; Masakan kamu makan coklat dan datang bertanya kepadaku apa rasanya coklat dalam mulut? Hehehe..ini bukan coklat tapi masalah perkawinan, romo. Karena itu akau menjawab mereka; Masakan kamu merasakan enaknya perkawinan tapi saya yang berpikir setengah mati tentang bagaimana agar kalian bisa mempertahankan perkawinanmu. Dengan kata lain, kamu yang kawin, aku yang repot...hehhehe...maaf ya. Namun, pertanyaan refleksif yang harus direnungkan oleh setiap orang yakni; Kalau perkawinan itu adalah tindakan Allah pada intinya untuk mempersatukan dua orang yang berbeda karakter, watak dan pembawaan, mengapa perceraian bisa terjadi?

Sebagai orang Katolik, tentunya kita bersyukur bahwa para romo yang tidak kawin (ehe...) dan menikah ini berpikir keras setiap saat tentang bagaimana mempertanggung jawabkan dan mempertahankan keutuhan perkawinan Katolik, tapi sayangnya ada yang telah kawin dengan mudahnya mau bercerai hanya karena alasan ketidak cocokan. Waduh, koq ilmu makan tebu atau kacangnya berlaku di sini sih, “habis manis sepah dibuang/makan kacang buang kulitnya.” Apakah mungkin untuk makan kulit dan sepahnya bersamaan biar keduanya tetap menjadi satu? Ada-ada saja romo ini. Karena itu, bagiku; perceraian atau meninggalkan imamat/panggilan atas alasan apa pun adalah tindakan pengingkaran terhadap janji dan pembohongan diri sendiri (Silakan mengeritik dan mempersalahkan aku karena memang ini pendapat pribadiku). Alasanku sederhana saja; masakan cinta yang berbunga-bunga sejak masa berpacaran sampai masa awal pernikahan, atau kebanggaan menjadi romo muda yang disanjung oleh umat di mana-mana, atau kegembiraan karena memakai pakaian suster, harus berakhir dengan alasan ketidak-cocokan dan tidak menemukannya kedamaian di dalam panggilan hidup atau rumah tangga? (Dengan ini aku pun sementara mengeritik diri sendiri) Siapa yang harus memperjuangkan kebahagiaan dalam rumah tangga/panggilanmu selain dirimu sendiri? Aneh rasanya bila Anda berenang di sungai tapi akulah yang harus merasakan dingin karena basah.

Karena itu, aku selalu meyakini akan satu hal ini; Perkawinan/panggilan membiara itu bagaikan menanam bunga di taman atau di pot yang selalu membutuhkan air dan perawatan. Banyak orang gagal mempertahankan rumah tangga/panggilan mereka karena mereka tidak tahu lagi bagaimana caranya menyiram bunga cinta mereka dengan air kejujuran dan sikap saling percaya.

Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

1 comment:

yusni said...

memang kebanyakan lebih baik dengan pelukan daripada kata-kata atau salaman yang hanya diawalnya saja